Ada fakta menarik mengenai asal muasal nama Subang. Pada tanggal 1 Januari 1870 Kademangan Ciherang dipindah ke desa Wanareja karena P&T yang ada di Pamanukan juga berpindah. Lokasi pindahnya kantor P&T itu adalah bekas kubangan badak yang telah berdiri bedeng-bedeng. Karena orang Belanda tidak bisa mengatakan Kubangan Badak, maka terciptalah kata Subang-an Badak dari para pengusaha Belanda yang oleh para buruh diubah lagi menjadi kampung Subang.
Subang adalah kota yang berasal dari perkebunan. Pasca runtuhnya kerajaan Pajajaran, wilayah Subang seperti halnya wilayah lain di P. Jawa, menjadi rebutan berbagai kekuatan. Tercatat kerajaan Banten, Mataram, Sumedanglarang, VOC, Inggris, dan Kerajaan Belanda berupaya menanamkan pengaruh di daerah yang cocok untuk dijadikan kawasan perkebunan serta strategis untuk menjangkau Batavia. Pada saat konflik Mataram-VOC, wilayah Kabupaten Subang, terutama di kawasan utara, dijadikan jalur logistik bagi pasukan Sultan Agung yang akan menyerang Batavia. Saat itulah terjadi percampuran budaya antara Jawa dengan Sunda, karena banyak tentara Sultan Agung yang urung kembali ke Mataram dan menetap di wilayah Subang. Tahun 1771, saat berada di bawah kekuasaan Kerajaan Sumedanglarang, di Subang, tepatnya di Pagaden, Pamanukan, dan Ciasem tercatat seorang bupati yang memerintah secara turun-temurun. Saat pemerintahan Sir Thomas Stamford Raffles (1811-1816) konsesi penguasaan lahan wilayah Subang diberikan kepada swasta Eropa. Tahun 1812 tercatat sebagai awal kepemilikan lahan oleh tuan-tuan tanah, diantaranya Peter Willem Hofland, yang selanjutnya membentuk perusahaan perkebunan Pamanoekan en Tjiasemlanden (P & T Lands). Penguasaan lahan yang luas ini bertahan sekalipun kekuasaan sudah beralih ke tangan pemerintah Kerajaan Belanda. Lahan yang dikuasai penguasa perkebunan saat itu mencapai 212.900 ha. dengan hak eigendom. Untuk melaksanakan pemerintahan di daerah ini, pemerintah Belanda membentuk distrik-distrik yang membawahi onderdistrik. Saat itu, wilayah Subang berada di bawah pimpinan seorang kontrilor BB (bienenlandsch bestuur) yang berkedudukan di Subang.Di tahun 1886, nama perusahaan perkebunan yang bernama Perkebunan P&T (Pamanukan & Tjiasem) Lands diganti dengan nama NV. Maatschappy Ter Exploitatie der Pamanukan en Tjiasem Landen. Kedepannya, tanah perkebunan ini mengalami 3 masa peralihan : tahun 1812 -1839 menjadi milik Inggris, tahun 1840 -1910 menjadi milik Belanda lalu terakhir di tahun 1911 -1953 kembali di tangan Inggris. Pada tahun 1953, nama Bel anda tersebut dirubah menjadi P&T Land N.V. Hasil perkebunan dari perusahaan ini meliputi teh, karet, sisal, singkong (tapioka), kapok, merica, coklat, kina, kopi dan padi.
Subang pada tahun 1950 adalah sebuah perkebunan karet yang luas. Pusat dariseluruh kegiatan di Subang berada di perusahaan The Anglo Indonesian Plantation LTD. Tercatat di perusahaan ini sejumlah 46 orang karyawan-nya adalah orang Indonesia sedangkan sisanya adalah 268 orang asing. Ini mengungkapkan bahwa perusahaan perkebunan ini cukup besar. Besarnya jumlah kaum expatriat ini juga memperlihatkan adanya persentuhan sosial, budaya, agama dan lainnya antara kaum pribumi lokal Subang dengan bangsa lain (masyarakat internasional) yang cukup intens pada periode tersebu
0 komentar:
Posting Komentar